Fenomena Kidulting: Pelarian Emosional Orang Dewasa dalam Dunia Serba Cepat
Oleh: Antonius Satria Hadi, PhD – Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta
FAJARLAMPUNG.COM, Yogyakarta – Fenomena kidulting, ketika orang dewasa menikmati hal-hal yang identik dengan masa kecil seperti mainan, kartun, atau koleksi karakter animasi, kini menjadi tren global yang menjanjikan.
Di tengah tekanan hidup modern, nostalgia menjadi ruang pelarian emosional yang menenangkan. Tak heran, banyak merek memanfaatkan kekuatan kenangan masa kecil ini untuk membangun ikatan emosional dengan konsumen.
“Konsumen tidak hanya membeli produk, tetapi juga perasaan yang membuat mereka bahagia,” ungkap pakar pemasaran emosional, Jonah Berger.
Dalam konteks bisnis, kidulting bukan sekadar tren konsumsi, melainkan peluang besar.
Brand besar seperti Uniqlo hingga Taro Snack telah membuktikan bahwa sentuhan nostalgia mampu menghidupkan kembali daya tarik produk lama.
“Desain jadul menciptakan rasa kedekatan dan kenangan positif,” ujar seorang pelaku industri kreatif di Jakarta.
Bahkan, muncul café bertema kartun, museum mainan, hingga merchandise edisi retro yang ramai dikunjungi generasi dewasa muda.
Hal ini menunjukkan bahwa kenangan masa kecil dapat menjadi fondasi strategi pemasaran yang efektif dan menguntungkan.
Namun, di balik potensi besar tersebut, pelaku bisnis harus berhati-hati. Nostalgia adalah pedang bermata dua.
Jika tidak dilakukan dengan riset dan keaslian, kidulting bisa terasa dipaksakan dan kehilangan maknanya.
“Kuncinya ada pada keotentikan—produk harus jujur terhadap nilai emosional yang dibawa,” tegas Antonius Satria Hadi.
Artinya, pelaku bisnis perlu memahami psikologi konsumen, bukan sekadar meniru tren global.
Kidulting membuktikan bahwa dalam dunia serba digital, manusia tetap merindukan kesederhanaan masa lalu.
Dari mainan hingga fesyen, dari camilan jadul hingga film klasik, nostalgia kini menjadi strategi pemasaran yang kuat.
Bagi pelaku usaha di Indonesia, fenomena ini adalah peluang emas untuk menciptakan produk yang bukan hanya laku, tapi juga menghangatkan hati konsumen.
Karena pada akhirnya, bisnis terbaik adalah yang mampu menyentuh sisi manusiawi pelanggan.
(waw)